Oleh: Prof. Dr. K.H. Syarif, S.Ag., MA
Thawâf adalah amaliah haji yang ada pada rukun dan wajib haji. Pada rukun haji namaanya Thawâf Ifâdhah, dan pada wajib haji namanya Thawâf Wadá’. Thawâf adalah amaliah haji mengelingi ka’bah tujuh putaran. Hikmah atau manfaat Thawâf adalah menghapus dosa tujuh anggota tubuh, dosa yang kita lakukan dengan dua mata, satu mulut, dua tangan, dan dua kaki.
Adapun ushûl dari syariat thawâf ini ialah bermula dari perintah Allah kepada Adam as dan pasangannya Hawa untuk menetap di surga. Mereka berdua bebas untuk memakan apa saja di surga. Kecuali tidak boleh mendekati pohon larangan.
“yá âdamu uskun anta wazaujuka al-jannata wakulâ minhumâ raghadan haitsu syu’tunâ walâ taqrabâ hâdzihî al-syajarata fatakûnâ mina al-zhâlimîn–Hai Adam diamlah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim. (Qs. al-Baqarah/2:35).
Teks ayat yang senada diulangi dalam Q.s. al-A’râf/7:19. Dalam surah ini dari teks ayat nomor 11 s.d. 25 diceritakan tentang diciptakannya Adam as dan ditempatkannya di surga serta boleh memakan apa saja yang disukai di dalamnya, tentang diperintahkannya Iblis untuk sujud kepada Adam dan Iblis menolak perintah itu, tentang setan berbisik untuk menggoda Adam as hingga terusirnya Adam as dari surga.
Pada dua teks ayat yang memuat perintah tinggal di surga kepada Adam as dan pasangannya, terdapat larangan supaya tidak mendekati pohon itu. Jika pohon itu didekati, maka Adam as dan pasangannya digolongkan sebagai orang yang zhálim. Pada keterangan teks ayat lain orang-orang zhâlim itu adalah orang yang mengikut hawa-nafsunya. “Bal ittaba’a al-ladzîna zhalamû ahwâahum bighairi ‘ilmin–Bahkan orang-orang yang zhalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan (Qs. al-Rum/30:29).
Adam dan Hawa menjadi orang yang zhâlim karena mengikut hawa-nafsunya sehingga melanggar larangan Allah itu. Tetapi Adam dan Hawa tidak berdiri sendiri dalam melakukan pelanggaran itu. Yaitu Adam-Hawa mendapat bisikan setan. Setan pura-pura memberikan nasehat dan membujuk keduanya.
“fawaswasa lahumâ al-syaithânu liyubdiyâ lahumâ mâ wuriya ‘anhumâ min ‘aurâtihimâ wa qâla mâ nahâkumâ rabbukumâ ‘an hâdzihî al-syajarati illâ an takûnâ malakaini aw takûnâ mina al-khâlidîn–Maka setan membisikkan kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”(al-A’râf/7:20).
Ternyata Adam dan Hawa termakan bujukan itu dan kemudian melanggar larangan “jangan dekati pohon ini”. Pohon itu bukan hanya didekati tetapi ditebang, ditumbangkan dan dinikmatinya. Mereka berdua melanggar larangan Allah akan sesuatu sebelum dihalalkannya. Setan membujuk keduanya dengan tipu daya. Kemudian dari pada itu bentuk pelanggaran akan kenikmatan pohon itu Allah ceritakan di ayat selanjutnya.
“Falammâ dzâqâ al-syajarata badat lahumâ sauâtuhumâ wa thafiqâ yakhshifâni ‘alaihimâ min waragi al-jannati”–Tatkala keduanya telah merasai pohon itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga (al-A’raf/7:22).
Syekh Muhammad Nawawi al-Banthani dalam kitabnya Tafsir al-munîr fî ma’âlimi al-tanzîl yang dikenal dengan Tafsir Muráh Labîd, menafsir teks ayat di atas dengan “tahâfat tsaubuhumâ ‘anhumá faabsharâ kullu wâhidin minhumá ‘aurata shâhibihî fastahyâ—pakaian keduanya tanggal lalu masing-masing keduanya memperlihatkan auratnya, lalu keduanya saling malu.
Jadi pelanggaran Adam as dan Hawa atas larangan Allah di surga itu dimulai dengan saling memperlihatkan auratnya dengan menanggalkan pakaian, akibat mengikuti bisikan setan. Jadi masing-masing kita boleh menerkanya, pohon apakah yang setelah dinikmati lalu mengakibatkan terbuka aurat orang yang menikmatinya itu. Seperti tebak-tebakan orang minang “basisiak bukannyo ikan bapayuang bukannyo rajo naneh apokah iko—bersisik bukannya ikan, berpayung bukannya raja, nanas apakah ini”, tebak sendiri.
Adam as dan Hawa menyadari, bahwa itulah yang menyebabkan keduanya terjerembab ke dalam dosa. Keduanya diusir dari surga dan mendiami bumi. Diriwayatkan, bahwa Adam as menangis hingga empat puluh tahun menyesali kesalahannya. Kemudian Adam as mendapat petunjuk tentang kalimat atau ucapan pertobatan dari pada Tuhannya.
“Fatalaqqâ âdama min rabbihi kalimâtin fatâba ‘alaihi innahû huwa al-tawwâbu al-rahîm—maka Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Qs. al-Baqarah/2:37).
Dengan petunjuk dari Tuhan itu maka keduanya berkata dengan kalimat pertobatan: “Rabbanâ zhalamná anfusanâ wain lam taghfirlanâ wa tarhamná lanakúnannâ mina al-zhâlimîn–Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (al-A’râf/7:23).
Dalam proses pertobatan itulah Jibril diperintah oleh Allah Swt, untuk mengajarkan ritual taubat tersebut. Jibril berkata kepada Adam “Hujjah Qabla al-maut — hajilah (temuilah Tuhanmu) sebelum kematian”. Adam bertanya kepada Jibril “bagaimana caranya”? Jibril menyampaikan perintah Tuhan “THAWAFLAH TUJUH KALI DI BAITUL MAKMUR”. Saat itu Baitul Makmur masih di bawah sebelum naik di atas karena kiamat Nabi Nuh. Maka Adam pun THAWAF TUJUH KALI mengeliling Baitul Makmur. Saat itu tanda posisi Baitul Makmur yaitu Ka’bah belum di bangun. Baitul Makmur itu dunia cahaya, ghaib. Adapun Ka’bah yang saat ini dikelilingi oleh orang-orang thawâf itu adalah tanda posisi Baitul Ma’mur atau Baitullâh atau simbol atau pancang atau tetenger atau syatrahû dalam bahasa al-Qurân.
Jadi, ushulnya syariat thawâf yang menjadi salah satu rukun haji ini adalah karena Adam-Hawa melakukan kesalahan yang mengakibatkan dosa bagi keduanya. Bagi kita adalah ushûl syari’at kita harus thawâf sebagai rukun baik saat haji maupun umrah adalah karena kita dalam kehidupan sehari-hari melakukan kesalahan atau dosa karena kita menuruti hawa-nafsu.
Adapun Hikmah thawâf mengitari Ka’bah tujuh kali itu adalah mengiringi Ushûl-nya tadi yaitu untuk mengampuni atau merontokkan dosa pada tujuh anggota tubuh. Ialah dosa yang dilakukan oleh pelakunya dengan menggunakan tujuh anggota tubuh yaitu dua mata, satu mulut, dua tangan dan dua kaki. Saat awal mula adalah Adam as sebagai subyeknya yang melakukan illegal loging menikmati pohon larangan yang juga utuh menggunakan tujuh anggota tubuhnya, tentu saat ini adalah giliran kita subyeknya.
Setelah thawâf itu Adam as dituntun supaya mengarahkan pandangannya ke arah sebuah bukit di sebuah padang luas, yang saat ini bernama padang ‘arafah, untuk bertemu sang kekasihnya Hawa setelah ratusan tahun terpisah karena terlempar di permukaan bumi. Uraiannya telah disampaikan pada SISI DALAM WUKUF DI ‘ARAFAH.
Jadi, sisi dalam dari syariat Thawâf ini tidak sekedar menggugurkan rukun dan wajib haji dengan mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Tetapi para hujjâj harus tahu bahwa dirinya sedang bergelimang dosa sebelum datang ke tanah suci. Bahkan tidak jarang di tanah suci pun tetap melakukannya. Dengan Thawâf dosa-dosa itu disucikan. Itu pun tentu bagi yang melaksanakannya tidak sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi mengerti dengan ritual hakikatnya (seperti dijelaskan pada syarah wukuf di arafah).
Dari segi ritual Thawâf, yaitu mengelilingi Ka’bah di sebelah kiri, bentuk putaran counter clock wise—berlawanan arah jam. Ritual gerakan berlawanan arah jam ini artinya para hujjáj diingatkan arah kembali, arah pulang. Arah pulang itu harus sampai di satu titik di dalam sana. Titik itulah disebut masjid al-harám—tempat sujud yang mulia. Tidak tempat itu yang mulia, tetapi di titik qiblat itu ada Sosok Yang Maha Mulia, Sosok di mana semua wujud yang dijadikan akan kembali kepada-Nya. Jika para hujjâj mengerti syariat-hakikat dari amaliah rukun haji bernama Thawâf ini, menjadi lengkaplah pelaksanaan hajinya secara zhahir-bathin, dan tidak sekedar pelaksanaan ritualistik.
Sekiranya boleh penulis menyampaikan masukan dan saran kepada para pengelola haji dan umrah, bahwa manasik tentang haqiqat ini jangan dilewatkan. Manhaj Tawâzun atau seimbang—balance, yaitu seimbang antara syari’at dan haqîqat sangat baik diterapkan dalam menyampaikan manasik. Sayang sekali jika yang sudah bersusah payah berhaji, tetapi hanya ritualistik secara syariat saja yang tercapai. Padahal Allah tidak menilik itu, melainkan Allah menilik kinerja hati yang menuju Tuhannya. Kinerja hati menuju Tuhan itulah yang disebut haqîqat—hakikat.
*Penulis adalah Guru Besar Ilmu al-Quran dan Tafsir sekaligus Rektor IAIN Pontianak, dan Ketua PWNU Kalimantan Barat.