Oleh: Prof. Dr. K.H. Syarif, S.Ag. MA*
Melempar jumrah merupakan wajib haji. Pada hari tasyrîk para hujjâj sedang berada di Mina dalam rangka melaksanakan ritual jumrah. Beberapa ritualitas syariat haji tak lepas dari sosok Nabi Ibrahim as. Di antaranya yang paling langsung adalah ritual wajib haji melempar jumrah. Ada jumrah aqabah, wusthâ, dan ûlâ. Ketiga jumrah ini biasa disebut jamarât.
Semua penjelasan pada penyampaian para penyampai hikmah dari amaliah atau ibadah, melontar jumrah merupakan simbol melempar setan. Bisa dibayangkan jika ritual melempar jumrah ini dipahami secara syariat zhahiriah mentah saja, berarti di tiang-tiang jamarât itu merupakan perkampungan atau tempat berkumpulnya setan.
Itu artinya sama dengan kita menyebut setan itu sebagai wujud sosok atau bahkan subyek. Apa sebenarnya ushûl-asal disyariatkannya melontar jumrah dalam ritual haji ini. Sekalian juga mesti dipahami sisi dalamnya dari syariat wajib haji melontar jumrah ini.
Bermula dari Ibrahim as mendapat perintah dalam mimpinya untuk menyembelih putranya (Ismail) yang diperolehnya di usia tua dari seorang istrinya Siti Hajar. Sebelum mendapat perintah menyembelih itu Ibrahim as mendapat perintah ketundukan.
“idz qâla lahû rabbuhû aslim qála aslamtu lirabbi al-‘âlamîn–Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah kamu!” Ibrahim menjawab “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. (Qs. al-Baqarah/2:131).
Setelah itu, ternyata Ibrahim a.s. diuji oleh Allah Swt atas keimanannya itu. Karena pernyataannya tunduk patuh itu, datang dalam mimpinya seperti keterangan teks ayat berikut.
“Falammá balagha ma’ahû al-sa’ya qâla yâ bunayya innî arâ fi al-manâmi annî adzbahuka fanzhur mádzá tarâ qâla yâ abati if’al mâ tu’maru satajidunî insyáalláhu mina al-shâbirîna–Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (al-Shâffât/37:102).
Ternyata mimpi itu tidak sekali datang langsung dieksekusi oleh Ibrahim as. Ternyata Ibrahim as juga jadi korban bisikan di dalam dadanya “yuwaswisu fii shudûri al-nâsi” seperti Adam as.
Dalam kajian hikmah dikabarkan bahwa Ibrahim as tidak sekali mendapat perintah dalam mimpinya. Setiap mendapat mimpi setiap itu pula Ibrahim as mendapat bisikan ragu, yaitu bisikan setan dalam hatinya. “falammá aslama watallahû li al-jabîn--tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya)” (Qs. al-Shâffât/37:103). Pada saat sudah seperti ini pun tetap setan menggoda supaya Ibrahim as tidak menyembelih putranya. Maka Ibrahim as mengambil batu dan melemparkannya ke arah depannya seraya menghadap qiblat. Inilah USHÛL JUMRAH AQABAH.
Begitu pun jumrah wusthâ disyariatkan ritualnya oleh karena ternyata ibu Ismail pun Siti Hajar juga mendapat bisikan setan di hatinya. Kepada Siti Hajar dibisikkan “bukankah anak itu engkau dapatkan setelah ayahnya sudah berumur? Bukankah dia anakmu itu sedang indah-indahnya dipandang mata? Mengapa harus kau biarkan Ibrahim suamimu menyembelihnya? Begitu juga Siti Hajar melempar setan dengan batu seraya menghadap kiblat dan berhasil menghalau setan dan memenangkan hatinya untuk menguatkan keimanan sang suami. Inilah USHÛL JUMRAH WUSTHÂ.
Ternyata pun Ismail sang putra Ibrahim as Bapak para Nabi itu tidak luput dari bisikan yang bernama setan itu. Tetapi Ismail kecil telah mendapat kokohnya keimanan, sehingga setan pun dilemparnya dengan batu seraya menghadap kiblat. Ismail berkata kepada Ayahnya “Tutup matamu Ayah, baringkan aku dibatu ini, mari kita sama-sama ber-QIBLAT, lakukanlah perintah Tuhanmu”. Ismail menguatkan Ayahnya, dan berhasil menghalau setan di hatinya. Inilah USHÛL JUMRAH ÛLÂ disyariatkan.
Ketiga subyek udlhiyah ini berhasil menghalau setan di hati, berpendirian hati atau beragama senantiasa menautkan diri kepada Tuhan mereka. Maka Allah Swt pun membalasnya dengan kebahagiaan. Bentuk balasan itu bahwa Sang Anak pujaan hati diselamatkan oleh Allah Swt. “Wafadainâhu bidzabhin ‘azhîm–Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”(Qs. al-Shâffât/37:107). Inilah USHÛL syariat udlhiyah atau menyembelih hewan qurban pada setiap rangkaian ‘idu al-Adlhâ.
Untuk memperoleh hikmah atau sesuatu yang bermanfaat, maka kita harus menyediakan perhatian serius untuk memahami substansi makna dari ritual jumrah ‘aqabah, wusthâ dan ûlâ ini. Adalah kita seriusi bacaan yang mengiringi ritual ini, yaitu “bismillâhi Allâhu Akbar rajman li al-syayâthîn— Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, pukulan bagi setan-setan”.
Sisi Dalam dari syariat janarât ini ada pada makna hakikat bacaannya. Dengan bacaan itu tadi, nyatalah bahwa bukan batu yang kita lontarkan itu yang menjadi pukulan bagi setan. Dalam kajian ilmu hikmah berbasis Wujud bahwa pertemuan BISMILLÂH dengan ALLAHU AKBAR itulah sebagai pukulan bagi setan. Artinya karena Bismillâh bertemu Allahu Akbar itu maka setan terpukul dan tak berdaya. Jika kajian ini hanya berhenti pada bacaan, maka tidak akan dapat Sisi Dalam atau substansi makna yang real.
Bismillâh — Yang Dengan Nama Allah, ialah wujud yang datang dari pada Allah. Wujud Bismillâh adalah rûh, adalah diri kita. Dalam Qs. al-Syûrâ/42:52 dijelaskan bahwa rûh adalah cahaya. Jadi bismillâh itu hamba bertemu dengan Wujud si Akbar sebagai Tuhan, itulah pukulan bagi setan.
Setan pasti melakukan kinerja bisikannya di hati mukmin. Produk kinerja setan ini adalah buruknya hati. Jika seorang hamba, si .ukmin datang bertemu Tuhannya secara hakikat (baca Syarif: Sisi Dalam Wukuf ‘Arafah) maka hati hamba itu diintervensi oleh Tuhannya, Allah Swt. Di saat itulah setan terpukul tak berdaya. Dalam arti, setan tidak dapat menggoda hamba yang dalam hati. Maka dengan begitu hati hamba tersebut menjadi baik.
Tentu dengan syarat, sang hamba tadi datang kepada Tuhannya secara hakikat di tempat yang telah ditetapkan sebagai tempat berhubungan atau tempat pertemuan dengan Tuhan (Qs. Al-Baqarah/2:125, al-A’raf/:43, al-Hajj/22:32-33, al-Balad/90:1-3). Secara hakikat itu artinya, dalam semua amaliah ritual jamarât oleh si hamba tadi, hatinya menuju Tuhan. Saat itu setan terpental tidak ampuh memburukkan hati mukmin. Inilah hikmah besar dari syariat wajib haji yaitu melontar jumrah.
Dalam beberapa riwayat disampaikan bahwa pada setiap selesai melempar jumrah dianjurkan berdoa, dan doa itu dikabulkan oleh Allah Swt. Maka setelah jumrah ‘aqabah berdoalah semua tentang kita sebagai laki-laki atau sebagai kepala keluarga, sebagai suami, sebagai ayah dari anak-anak kita, sebagai bagian dari bangsa, sebagai pendidik, dan seterusnya. Karena syariat jumrah ‘aqabah sebagai jejak Ibrahim as bebas dari bisikan setan.
Lalu setelah melempar jumrah wusthâ berdoalah tentang istri kita. Doakan semuanya yang kita hajatkan dan harapkan dari istri kita. Karena syariat jumrah wusthâ merupakan jejak dari Siti Hajar sebagai istri dan sebagai seorang ibu yang berhasil dan bebas dari bisikan setan di hatinya.
Kemudian yang terakhir, setelah melontar jumrah ûlâ, berdoalah kita tentang semua yang kita hajatkan dan harapkan dari anak-anak kita. Karena syariat jumrah ûlâ ini merupakan jejak dari sosok Ismail as Sang Anak yang juga berhasil membebaskan dirinya dari bisikan setan di hatinya. Tentu doa yang paling ideal bahwa kita ingin anak-anak kita seperti Ismail as yang beriman dan meneguhkan keimanan orang tuanya.
Dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, tentu hikmah besar yang harus kita realisasikan setelah berikhtiar memohon intervensi Tuhan supaya hati ini jadi baik, ialah kita harus mewujudkan karakter rela berkorban dalam perjuangan. Tentu pada sektor dan lingkup tanggung jawab tugas dan fungsi kita masing-masing.
Ternyata sifat kikir yang melahirkan sifat tamak-loba adalah sifat yang paling diimami oleh setan. Jika setelah melakukan syariat jamarât kita masih kikir dan tamak-loba, artinya kita sedang hampa dari Hikmah Jamarât. Boleh juga sifat kedermawanan itu tidak harus berupa harta-benda, walau pun itu mesti, tapi bisa berupa kaya solusi dalam berpartisipasi menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Juga bisa berupa hal lain, yang intinya mencerminkan bahwa hati kita itu telah mendapat intervensi Tuhan menjadi baik dan cenderung berbuat dan mewujudkan yang baik-baik.
Ritual jamarât kesempatan bagi para hujjâj untuk menautkan hati kepada Allah supaya hati dapat pertolongan. Penyakit hati buka hanya kikir. Tetapi terhimpun dalam tiga belas penyakit hati disebut maksiat batin. Emosional, mudah marah, dan tersinggungan, ini jenis maksiat batin nafs ammârah. ‘Ujub—‘ajîb adalah penyakit hati suka mambanggakan diri, takjub akan dirinya. Bangga dengan jabatan, ilmu, harta, prestasi, nasab–keturunan, dan semua yang ada padanya. Sifat riya’—harap sanjungan, takabbur—membesar-besarkan diri, iri, dengki, menghasut, fitnah, tamak—loba, sombong. Sepuluh maksiat terakhir adalah kategori jenis nafs lawwámah.
Ulama ada yang berpendapat bahwa setan itu berupa wujud subyek, dan ada yang berpendapat setan itu berupa sifat-sifat buruk. Dalam kajian hikmah, setan itu adalah nama sifat dan bisikan iblis. Penulis mengambil pendapat bahwa setan itu adalah sifat dan bukan subyek. Maka setan itu wujudnya berupa tiga belas maksiat batin seperti di atas.
Jika, jamarât dari ushûl Nabi Ibrahim as, Ismail, dan Siti Hajar melempar setan karena menggoda mereka supaya ingkater terhadap perintah Allah, maka para hujjâj harus mengikut jejak mereka bertiga. Sehingga setelah ber-jamarât setan yang membisik di hati harus takluk dan tak berdaya supaya tidak menggoda lagi. Dari sini para hujjâj bisa menilai apakah Hajinya beroleh hikmah–manfaat, atau tidak. Semoga kita semua peroleh taufiq dan hidayah Allah Swt. Âmîn yâ Karîm.
*Penulis adalah Guru Besar Ilmu al-Quran dan Tafsir sekaligus Rektor IAIN Pontianak, dan Ketua PWNU Kalimantan Barat