Oleh: Prof. Dr. K.H. Syarif, S.Ag.,MA
Pontianak (incernews.com) Hari-hari belakangan, diantara fokus kita tertuju pada peristiwa besar nasional yang menyita perhatian publik Indonesia, judi daring atau yang lebih dikenal dengan judi online. Presiden Joko Widodo sampai harus membuat tim SATGAS Nasional untuk menangani dan memberantas judi daring tersebut. Diberbagai platform media, kita disuguhkan berbagai data dan fakta tentang kasus judi daring. Diantara yang data yang mengerikan adalah soal angka sensasional perputaran uang di plat form digital judi yang mampu menyalip transaksi mencurigakan kasus korupsi. Nilai transaksi keuangan mencurigakan terkait judi online sungguh fantastis yang nilainya meningkat setiap tahun. Tahun 2024 ini, jika diakumulasikan transaksi judi online mencapai Rp 600 triliun. “Nah, itu nilainya di 2023 Rp 397 triliun, dan di semester satu ini yang seperti disampaikan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana itu nembus angka Rp 600 triliun lebih pada kuartal pertama di 2024,” kata Koordinator Humas PPATK. Adapun akumulasi laporan transaksi keuangan judi 32,1 persen. Sedangkan korupsi hanya 7 persen. “Maka, secara akumulasi, judi bagian yang cukup besar dari laporan transaksi keuangan mencurigakan yang kita terima sampai 32,1 persen, kalau misalnya penipuan di bawahnya ada 25,7 persen, lalu kemudian tindak pidana lain 12,3 persen, korupsi malah 7 persen,” imbuhnya (detiknews, “Data Ngeri Judi Online di Indonesia: Angka Transaksi Salip Korupsi”).
Yang tidak kalah mirisnya adalah bahwa judi daring telah menyasar sedikitnya 3,2 juta penduduk Indonesia, dimana angka tersebut membawa Indonesia menjadi negara nomor satu dunia dengan pemain judi daring terbesar. Status ini tentu saja tidak mengenakkan, apa lagi negari ini dengan jumlah muslim terbesar ke dua di dunia. Para penjudi daring berasal dari semua kalangan profesi, mulai dari pengangguran, ibu rumah tangga, petani, ASN hingga para anggota dewan yang terhormat. Tidak kurang dari 1000 orang wakil rakyat terindikasi bermain judi online, demikian diungkap PPATK saat mereka melakukan rapat dengan DPR pada 26 Juni 2024.
Data lain berdasarkan data demografis dari SATGAS Judi Online bahwa usia paling banyak berasal dari kelompok usia 31-50 tahun yakni sebesar 1,64 juta orang, kemudian kelompok usia diatas 51 tahun sebesar 1,3 juta orang. Namun yang paling mengerikan adalah bahwa tidak kurang dari 80.000 para penjudi online adalah anak-anak. Anak-anak digital nativ yang seharusnya mereka menjadikan media platform digital untuk mensupport tumbuh kembang mereka secara positif, disebabkan keteledoran keluarga dan banyak pihak terkait menyebabkan mereka masuk dalam perangkap jahat ini. Entah apa jadinya jika sejak anak-anak mereka telah terbiasa dengan main dan permainan judi online. Berdasarkan data ini, sejatinya ada ikhtiar dari orang tua, guru dan masyarakat untuk menguatkan literasi digital anak-anak. Internet seharusnya menjadi platform media belajar yang menyenangkan bagi anak, tetapi dengan pengawasan yang longgar, internet justru menjadi media pembunuh karakter paling mematikan sebab ia membuat anak menjadi adiksi, hingga adiksi bermain judi.
Selanjutnya jika data-data besar tersebut diturunkan, maka kita juga mendapati terdapat relasi yang signifikan dengan data dan fakta kriminal lainnya seperti pencurian, tindakan kekerasan baik fisik ataupun psikis, bunuh diri, hingga pembunuhan. Perilaku berjudi menjadi faktor yang memicu terjadinya kasus-kasus kriminal tersebut. Berdasarkan kajian psikologi, para penjudi, psikis mereka mengalami gangguan mental. Beberapa gangguan mental tersebut misalnya kelelahan psikis, stress, depresi, kecemasan dan gangguan emosi. Gangguan mental yang tak mampu dikendalikan, hal ini menyebabkan individu membuat tindakan tidak terkontrol (Mal Behavior) hingga memicu untuk melakukan satu tindakan kriminal. Jadi, terdapat korelasi yang signifikan antara tingginya angka judi online dengan jumlah angka kriminal.
Data berbeda yang juga patut dilihat adalah tentang tingginya angka percerain dan hubungannya dengan kebiasaan berjudi online oleh salah satu pasangan. Kota Depok misalnya, menjadi saksi bisu dari fenomena ini. Kasus perceraian di Kota Depok, Jawa Barat, tahun 2024 mengalami peningkatan ketimbang tahun sebelumnya. Pengadilan Agama Depok merilis bahwa 70% dari kasus perceraian tersebut berakar dari judi online dan pinjaman online. Hingga penghujung Juni 2024, Pengadilan Agama Depok telah menangani 1.133 kasus perceraian. Dari jumlah tersebut, 864 kasus bermula dari perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus, serta 153 kasus dipicu oleh masalah ekonomi (Sumber: website Kemenag RI). Berdasarkan cuplikan data ini, kita mendapati bahwa tindakan judi online telah mengakibatkan institusi keluarga terpecah atau bubar. Seharusnya institusi keluarga menjadi lingkup paling mikro bagi individu mencapai kebahagiaan, melakukan pendidikan pertama bagi anak-anak mereka, menjadi wadah paling utama dan nyaman untuk mengumpulkan pahala dalam beribadah, tetapi kemudian seketika berubah menjadi “neraka”.
Jika melihat data dan fakta diatas, kita harus mengatakan bahwa Indonesia dalam “krisis besar”. Ini merupakan sebuah keadaan sangat darurat yang mungkin melampaui daruratnya sebuah bencana alam dengan kasus kematian fisik terbanyak negeri ini. Kasus judi online mematikan jiwa seorang ayah atau ibu kepada anggota keluarganya, mematikan masa depan anak-anak saat mereka dewasa kelak, mematikan jiwa bertanggung jawab para aparatur dan masih banyak lagi. Indonesia darurat judi online karena tindakan ini memiliki banyak resiko negatif. Berdasarkan beberapa sumber, dapat diidentifikasi beberapa bahaya judi online yaitu: Pertama, bahwa perilaku judi online dapat menyebabkan seseorang adiksi (kecanduan). Orang yang telah memasuki tahap adiksi, pada diri mereka akan terjadi: (1) Individu akan mengubah orientasi dan prioritas hidupnya. Tidak akan ada lagi orientasi dan prioritas hidup positif bagi mereka kecuali mendapatkan kesenangan pribadi disebabkan mereka bisa berjudi. Tidak akan ada masa depan bagi individu seperti ini. Orang lain bahkan orang terdekat mereka (anak, istri, orangtua) bukan menjadi prioritas utama untuk diperhatikan. (2) Adiksi judi online akan membuat gaya hidup (life style) berubah. Tidak ada lagi gaya hidup positif dan sehat bagi mereka para pecandu. Pola kerja, makan dan tidur menjadi tidak teratur dan sehat. Ketidakteraturan ini berikutnya akan memicu problem Kesehatan yang kemudian ujung-ujungnya akan menjadi beban bagi orang terdekat mereka.
Kedua: perilaku judi online akan memiliki konsekuensi psikologis. Seperti telah disinggung sebelumnya, orang yang telah adiksi judi, mereka memiliki gangguan mental seperti stress, depresi, kecemasan, gangguan emosi, merasa rendah diri, mudah marah, dan lain sebagainya. Gangguan mental yang menetap, pada dampak yang paling buruk adalah akan menyebabkan gangguan prilaku (behavior disorder). Individu yang mengalami behavior disorder, mereka akan mengabaikan kebutuhan personalnya (kebutuhan sehat, kebutuhan pendidikan, kebutuhan spiritual dll), bahkan tidak segan-segan melakukan tindakan agresi kepada orang lain, mulai dari mengancam hingga menyakiti.
Ketiga: perilaku judi online juga memiliki dampak sosial. Dampak sosial tersebut seperti: kesenjangan hingga konflik dalam hubungan dalam keluarga dan pertemanan. Selain itu, individu penjudi juga akan secara sengaja mengisolasi diri mereka dari komunitas dan relasi sosialnya. Mereka akan menarik diri dan mengabaikan lingkungan sosial. Bagi mereka, komunitas sosial merupakan ancaman yang sewaktu-waktu dapat menjudge kebiasaan buruk berjudi. Untuk kepentingan sosialnya, mereka akan membuat komunitas kecil sendiri sesama para penjudi.
Keempat: dampak paling nyata judi online adalah pada konsekuensi finansial. Kerugian finansial para penjudi online tidak bisa dihindari. Sampai hari ini, adagium tidak ada penjudi yang kaya rasanya masih berlaku. Mereka yang berjudi, niscaya mengalami dan menderita kerugian finansial. Akumulasi modal atau kapital pribadi yang semula menjadi asset personal, dalam waktu sekejab dapat berpindah kepemilikan kepada para bandar. Yang lebih parah adalah jika asset personal telah habis, kehendak adiksi berjudi tidak dapat ditahan, para penjudi tidak segan meminjam kapital pada orang lain atau aplikasi pinjol. Hutang akan menumpuk dan tidak terbayar dan jadilah para penjudi mengalami kesulitan finansial yang akut.
Berdasarkan empat fakta konsekuensi diatas, pertanyaannya, mengapa kasus judi online semakin membesar? Berikut beberapa kajian mengapa individu melakukan tindakan judi online. Petama: secara hormonal, manusia memiliki kecendrungan untuk mempertaruhkan sesuatu yang berharga untuk mendapatkan sesuatu yang lebih berharga. Bagi para penjudi, dorongan dari dalam ini diarahkan pada perilaku negatif judi yaitu untuk mendapatkan nilai lebih dengan upaya yang minimal. Tindakan berjudi menjadi jalan pintas untuk mendapatkan nilai lebih. Kedua: Dalam otak manusia, terdapat hormon dopamine, dimana sala satu fungsinya adalah menstimulasi individu untuk mendapat imbalan atau reward. Secara alamiah, penghargaan dari luar diri individu adalah sangat alamiah, dan para bandar melalui skemanya menawarkan hal tersebut. Diawal-awal permainan, para penjudi akan diberikan reward berupa kemenangan, bahkan reward yang diberikan melampaui dari yang diharapkan. Hal ini berikutnya akan memicu berulangnya Tindakan seseorang hingga kemudian adiksi.
Ketiga: judi online terfasilitasi oleh kemajuan teknologi digital. Situs judi online mudah diakses, mudah dibuka, mudah dimainkan, free akses, dapat dimainkan oleh siapa saja, diwaktu kapanpun dan dimanapun. Teknologi judi online dirancang sangat mudah untuk mendaftar dan melakukan deposit uang. Judi online juga memanfaatkan iklan yang massif dan melibatkan para pesohor dunia maya.
Dari kajian general diatas, pertannyaanya adalah, apa yang dapat kita lakukan? Jika menganalisis variasi faktor penyebab orang berjudi secara online, bukan pekerjaan mudah mengatasi fakta ini. Dalam banyak diskusi dan tulisan, kita telah menemukan banyak tawaran untuk mengatasi problematika ini. Mengambil sudut berbeda, penulis menawarkan skema tawaran berdasarkan teori Habitus Piere Bourdieu. Dalam padangan Bourdieu, sebuah tindakan sosial yang telah embodied pada diri seseorang ia telah memenuhi syarat untuk disebut sebagai habitus. Habitus sediri baru akan terjadi jika seseorang memiliki modal dan arena (field). Modal sendiri terdiri dari modal ekonomi, budaya, sosial dan modal simbolik. Sementara untuk merealisasikan habitus seseorang butuh arena. Dalam konteks judi online, modal dalam perspektif Bourdieu dapat diidentifikasi sebagai: uang, kuota internet, jaringan sosial atau teman sesama penjudi, kemahiran dalam bermain judi, lingkungan yang aman dan nyaman saat berjudi online dan termasuk perolehan level dalam berjudi. Selanjutnya arena, dapat dimaknai sebagai tempat umum (ruang publik) yang leluasa untuk para penjudi melakukan tindakan judinya seperti di kafe, rumah, kampus atau sekolah, sarana publik dan masih banyak lagi.
Syarat terjadinya habitus adalah apabila individu memiliki kedua syarat diatas yaitu kapital dan arena. Oleh sebab itu, jika agar judi online tidak sampai menjadi habitus, maka kapital dan arena dan diputus atau dikontrol secara paksa oleh pihak berwajib dan terkait. Dalam kasus kapital ekonomi misalnya, pemerintah niscaya mengamputasi rekening-rekening yang terkait judi online. Aliran dana yang terkait judi online ke atau dari seseorang harus ditelusiri, diperiksa dan diberi tindakan hukuman. Untuk hal ini sangat mudah bagi negara (melalui PPATK) melakukannya. Selanjutnya dalam hal kapital budaya, saran penulis, sebaiknya e-sport ditiadakan, sebab bisa saja menjadi pemicu perilaku lain. Tentang kapital sosial, jaringan judi online harus diamputasi, mulai dari bandar kecil, bandar besar hingga pejabat yang membacking. Para pemain judi online, selain pelaku, mereka sebenarnya juga adalah korban. Oleh sebab itu, sia-sia jika yang diberantas hanya pada level pemain dan bandar kecil.
Terkait arena atau ruang publik tempat orang bermain judi, menurut penulis pemerintah harus memggunakan otoritasnya. Yaitu pertama, secara sangat massif mengkampanyekan bahwa dilarang keras dan dan disertai sanksi yang jika kedapatan bermain judi di ruanh publik, sebagaimana pemerintah saat sekarang menerapkan Kawasan tidak boleh merokok di ruang publik. Hal yang sama sesungguhnya dapat diduplikasi. Kedua, ini yang lebih penting adalah bahwa pemerintah harus menutup semua situs judi online, melarang iklan judi online, memberikan hukuman untuk efek jera pada pelaku judi online apa lagi jika hal tersebut dilakukan oleh para publik figure baik ASN ataupun non ASN. Ketiga, Pemerintah dengan otoritasnya harus menjadi institusi yang memiliki kekuatan memaksa dan harus tidak mentoleransi serta harus terhindar dari kendali para bandar. Keempay, akhirnya sembari itu, semua pihak harus mengembangkan literasi digital. Dengan literasi digital yang sehat, diharapkan tercipta filter yang kuat agar tidak terjebak pada habitus buruk berjudi baik secara daring maupun luring. Wallahu’alaum.