Oleh: Prof. Dr. K.H. Syarif, S.Ag. MA*
Secara tradisional ‘id al-thri dinanti sebagai hari lebaran. Sebenarnya ‘id al-fithri bukan nama hari tertentu atau bukan sebutan untuk hari raya. ‘id al-fithri lebih pada kondisi internal pada diri orang yang berhari raya. Hari raya biasanya diartikan dengan hari besar. Lebaran yang terkait dengan ramadhan disebut hari raya ‘id al-fithri. Tetapi sesungguhnya ‘id al-fithri itu sendiri tidak berarti hari raya. Boleh jadi pengartian demikian oleh karena pada hari itu disebut-sebut atau dikumandangkan nama Tuhan Yang Maha Besar, yaitu kalau oleh kaum muslimin pada hari itu mengumandangkan kalimat “Allâhu Akbar”.
‘Id al-fithri secara bahasa harus diartikan dengan lebih dahulu menemukan arti pokok dari kata fithrah atau fithri. Fithrah atau fithri arti dasarnya adalah “himlat-hamlat– bawaan”. Penulis menerjemahkan bahwa hilmat-hamlat itu adalah “bawaan dasar. Maka secara bahasa “’id al-fithri”berarti “kembali kepada bawaan dasar”. Setelah diketahui wujud bawaan dasar itu kemudian bisa diartikan suci oleh karena, bawaan dasar itu selalu benar, dan suaranya suci dari kedustaan. Maka bawaan dasar itu sifat utamanya adalah shiddîq—wujud yang membenarkan—wujud yang jujur. Jika tidak diketahui lebih dahulu wujud bawaan dasar tersebut, maka tidak bisa serta merta kita mengartikan fithrah dengan arti suci. Pertanyaan yang sangat perlu dikemukakan ialah, apa yang dimaksud dengan bawaan dasar. Kalau ada bawaan, apa yang dibawa, siapa yang membawa, dibawa dari mana dan sedang di mana bawaan itu.
Di dalam teks-teks ayat al-Qur`an kata fithrah diungkap dalam surat 30:30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama; yaitu fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Jika kita mencermati keterangan teks ayat ini, tampak bahwa kita disuruh menghadapkan wajah kepada fitrah, dan fitrah itulah agama yang lurus. Kemudian harus kita perjelas juga nanti, wajah itu apa. Agama itu sesungguhnya asal bawaan diri pada manusia pada dirinya, dan itu tidak ada perbedaan pada diri setiap manusia, karena diri pada manusia itu sesungguhnya umat yang satu.
“Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri.
Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.”(Q.s all-Baqarah/2:213).
Kemudian diutuslah para auliyâ`- anbiyâ` untuk menerangkan dengan qaul-qaul mereka. Adapun qaul itu disampaikan dalam bahasa kaumnya, bahwa pada dan sedang bersama manusia itu ada petunjuk yang dititipkan atau yang dipercayakan oleh Allah sejak azalinya. Para auliyâ`-anbiyâ itu mengajarkan wujud nyata agama (al-dîn) itu kemudian membawa atau menunjukkan tempat untuk dapat pertolongan Allah guna agama itu bisa bersih kemudian mampu bersuara, dan suara itulah petunjuk yang nyata di dalam dada setiap orang.
Tetapi sayang, kebanyakan manusia tidak dapat tahu tentang hal itu. Sebab kebanyakan manusai tidak lagi menghiraukan ajaran yang dapat membuat dirinya menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Padahal, “al-haqqu min rabbika—kebenaran itu dari Tuhanmu maka sekali-kali jangan kamu menjadi bagian dari orang-orang yang ragu (Q.s al-Baqarah/2:147, Âli ‘Imrân/3:60, Yûnus/10:94)”. Tetapi kebanyakan kita tidak mencarai kebenaran yang dari Tuhan itu. Lalu dikira kebenaran itu ada pada keterangan-keterangan teks tulisan tangan manusia. Sesungguhnya sekalipun teks-teks al-Qur`an itu adalah keterangan tentang kebenaran. Teks itulah sebagai rekaman dari suara kalam Allah yang diqaulkan oleh Nabi Muhammad Saw, dan itu hanya menerangkan di mana sesungguhnya kebenaran itu sedang berada dan sedang bersuara, yakni di dalam dada pada setiap manusia.
Jadi, sesunguhnya bawaan dasar kita itu datang dari pada Allah. Dianugrahkan pada kita, di mana anugrah itulah yang menulis semua perbuatan kita dan tulisan itu dapat dengan sangat terang kita baca tanpa huruf dan tanpa suara lahiriah. Tulisan itulah tanda yang nyata di dalam dada (Q.s. al-‘Ankabût/29:49), disebutlah dia ‘ilmu fi al-shudûr, sedangkan dia itulah kebenaran yang dari Tuhan itu (Q.s. al-Baqarah/2:147). Dia selalu benar (shiddîq) oleh karena, dia sebagai kepercayaan (amânah) Allah, dia tidak mendustai atau tidak bengkok sedikitpun (Q.s. al-Kahfi/18:1). Apa-apa yang dilihat dan diperbuatnya, lalu dia sampaikan sebagai inspirasi kepada dirinya sendiri pula (tablîgh), dan karena itu dialah sebagai wujud yang cerdas (fathanah) karena dia sangat mengatahui dan tidak lupa akan semua kejadian yang diperbuat dan dialaminya.
Itulah bawaan yang tidak pernah berubah dan tak bertambah pada setiap diri manusia lintas suku bangsa dan agama. Siapapun manusia itu memiliki sifat itu, hanya saja ada yang memperoleh keterangan yang bernar dan ada yang tidak. Oleh karena itu ada yang dapat mewujudkan kebenaran itu dalam keseharian dan ada yang tidak. Keterangan yang benar itu harus dibawa dan disampaikan oleh para auliyâ`-ambiyâ` yang tentunya mereka dipilih Allah. Namun sekalipun mereka menyampaikan secara benar, lalu di kemudian hari keterangan itu diubah, maka menjadi tidak benar juga keterangan itu. Selanjutnya manusia yang mendapat keterangan yang telah diubah menjadi versi manusia itu, kemudian pun tidak dapat mewujudkan potensi bawaan dasar itu.
Jadi, sebenarnya ketika kita berbicara ‘id al-fithri itu, dari sisi bahasa dia tidak bermusim tahunan oleh karena, sesungguhnya kita harus kembali setiap saat kepada potensi bawaan dasar itu. Sebab, kita harus mengejawantahnya ke dalam tindakan nyata sehari-sehari. Kapan dan bagimana setiap saat itu kita harus kembali? Di dalam Q.s. 2:156, bahwa “kami dari pada Allah dan kepada-Nya kami kembali”. Kembali di sini tidak untuk orang mati, ternyata di dalam Q.s. 2:46 dijelaskan bahwa yang dimaksud kembali itu adalah kembali saat shalat. Pada keterangan ayat itu disebutkan “orang yang khusyu’ shalatnya, ialah mereka yang yakin bertemu Tuhan di tempat yang ke situ mereka kembali”.
Selanjutnya, pada hakikatnya ‘id al-fithri ini mesti mengetahui instrumen utamanya. Yaitu kita harus mengerti bagaman kembali kepada Allah tidak nunggu pada waktu kematian. Karana ketika kematian datang pun, jika dalam hari-hari sejak sekarang tidak tahu kembali kepada Allah, maka saat kematian kita pun tidak akan bisa kembali kepada Allah. Mengapa harus instrumen itu kita ketahu? sebab hanya Allah yang dapat memisah dari hambatan kesucian itu yaitu penyakit hati (Q.s. al-Anfâl/8:24).
Penyakit hati inilah sesungguhnya yang mengaburkan bawaan dasar ruh—fitharah rúhiyah. Penyakit hati itu disebut fithrah insániyah. Fithrah rûhiyah adalah bawaan dasar diri atau ruh yang datang dari pada Allah, yaitu sifat yang melazimi, menuruni, dan mewarisi sifat asala ruh yaitu Nûr Allah. Seperti uraian terdahulu, Nur Allah ini yang menjadi Ruhaniahnya Nabi Muhammad Saw. Sifat yang dilazimi itu adalah shiddîq, amánah, tablîgh, fathanah, seperti yang dijelaskan di atas. Fithrah rûhiyah ini terasa sangat nyata saat diri atau ruh ini sedang dengan manusia dalam tubuhnya. Terasa suara kejujuran—shiddîq nyata saat kita sedang berdusta.
Dia si shiddîq ini bersuara lantang bahwa kita sedang berbohong, walau pun diri ini sendiri yang sedang melakukan kebohongan. Singkatnya, fithrah rûhiyah seperti di atas nyata terasa saat diri kita sedang bertindak dan berkata dengan memakai sifat fithrah insániyah yaitu sifat yang disebut tigabelas maksiat batin yakni sifat emosional, mudah marah, tersinggungan, ‘ajîb/’ujub, riya, takabbur, iri, dengki, menghasut, fitnah, tamak, loba, sombong. Sifat tigabelas maksiat batin ini akan melahirkan sifat-sifat buruk lainnya, seperti dusts, angkuh, culas, kikir, dendam dan seterusnya.
Kepada sifat dasar—firhrah rûhiyah inilah hakikat atau tujuan dan itulah bentuk kembali atau bentuk ‘id al-fithri. Bahwa yang populer ‘id al-fithri itu dikaitkan dengan waktu tanggal 1 syawwal, hal itu oleh karena momen seja. Yaitu, pada tanggal 1 Syawaal adalah momen orang mukmin baru selesai melatih diri (riyâdlah) untuk dapat menahan diri dari semua penyakit hati. Itu saja sebenarnya alasan yang signifikan mengapa sebutan ‘id al-fithri dijadikan nama hari raya dalam kegiatan kaum muslimin. Tentu penisbatan kepada kondisi kesucian itu bagi mereka yang baik shiyâm-nya, maka baiklah diri dan amal lainnya, serta benarlah tanggal 1 Syawwal itu sebagai hari suci yaitu hari yang kembali kepada kondisi diri yang suci dari kedustaan dan suci dari kekotoran hati. Kondisi itu laksana hari sebagaimna mereka sewaktu baru dilahirkan dari rahim ibu. Oleh karena ketika lahir itu potensi bawaan dasar itu belum kotor. Tetapi bagi mereka yang shiyâm-nya tidak benar, apalagi yang tidak melakukannya, maka ‘id al-fithri sama sekali tidak berarti sebagaimana makna hakikinya, tetapi hanya berarti sebagai makna tradisi belaka. Artinya tidak terwujud makna dan Hakikat ‘id al-Fithri.
Jika kita mahu merenung, tradisi mudik itu sebenarnya pelajaran bahwa setiap kita rindu akan kondisi semula. Secara lahiriah mudik kembali sementara ke kampung halaman. Tetapi mengapa kita tidak mencari kampung halaman kita yang sesungguhnya yang tidak sementara. Mudik itu kembali ke kampung halaman jasad yang di sana kita dilahirkan. Tetapi kampung halaman diri kita yang dari pada Allah yaitu rûh tidak di tempat kelahiran jasad itu. ‘Id al-Fithri adalah mudik ruhaniyah.[]
Penulis adalah Guru Besar Ilmu al-Quran dan Tafsir, sekaligus Rektor IAIN Pontianak