Oleh: Prof. Dr. H. Syarif, S.Ag. MA*
Derajat selama ini dipahami sebagai posisi lebih atau kurang antara seseorang atau sekelompok orang atas atau dari seseorang atau sekelompok orang lainnya. Misalnya ungkapan derajat adalah lebih tinggi atau lebih rendah. Pada seseorang atau sekelompok orang, derajat lebih tinggi bisa jadi prestise. Bahkan derajat sering dikaitkan dengan harga diri. Maka tidak heran jika ada seseorang atau sekelompok orang berjuang mati-matian untuk mengukir atau mempertahankan derajatnya. Hal-hal yang biasa dijadikan instrumen penting untuk derajat biasanya ilmu, kekayaan, jabatan, jenis kelamin, suku-bangsa, dan lain-lain.
Di zaman jahiliah dahulu, suku-bangsa menjadi salah satu instrumen utama untuk menentukan derajat seseorang atau sekelompok orang. Kemudian kekayaan dan kekuasaan. Terutama untuk kekuasaan, kala itu suku dan kekayaan menjadi unsur penting penentunya. Dengan derajat karena instrumen-instrumen itu, maka di zaman jahiliah terjadi penistaan-penistaan dan perilaku merendahkan orang lian oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lain. Di zaman jahiliah yang kaya disanjung, yang kuat berkuasa, yang miskin diinjak, perempuan tidak ada harganya. Terjadi perbudakan kemanusiaan, di mana seseorang manusia harus tunduk dan menyembah kepada manusia lainnya.
Atas fakta ini, bagaimana Islam memandang dan memposisikan derajat manusia antara satu dengan yang lainnya? Penulis melakukan riset sederhana atas teks-teks ayat dan hadis serta pendapat para ulama terkait derajat ini. Setidaknya ditemukan 14 kata درجات–darajât dalam 14 ayat diungkap dalam bentuk jamak. Penulis juga meriset teks-teks ayat Al-Quran tentang kesetaraan menurut pandangan Islam. Mengapa demikian? Karena tentunya, jika ada perbandingan lebih dan kurang, tinggi dan rendah, maka harus ada pandangan tentang kesetaraan.
Dengan riset ini penulis ingin sharing tentang fungsi dan kedudukan al-Quran dalam kaitannya dengan hubungan sosial manusia dengan sesamanya. Bahwa pertama, sebagai latar belakang terkait pembahasan derajat ini, bahwa kecenderungan manusia saling menghardik, merendahkan, meninggikan diri, menyombongkan diri dan memperbudak satu sama lain. Ini dapat ditangkap dari isyarat teks ayat Al-Quran misalnya dalam Q.S. Âli ‘Imrân/3:79.
“mâ kâna libasyarin an yu`tiya Allâhu al-kitâba wa la-hukma al-nubuwwata tsumma yaqûla li al-nâsi kûnû ‘ibâdan lî min dûnillâhi wa lâkin kûnû rabbâniyyîn bimâ kuntum tu’allimûna al-kitâba wa bimâ kuntum tadrusûna–tidak sepantasnya bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia “hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya
Satu keterangan teks ayat di atas mengisyaratkan betapa manusia itu cenderung menyuruh manusia lain tunduk dan menghamba kepadanya. Maka seru Allah “tidak pantas begitu”. Demikian juga dalam al-Furqân/25: 63, Allah setengah memuji bahwa sosoh hamba Allah itu adalah orang yang tidak arogan dan berkata yang mengandung kedamaian. Teks ayat ini mengisyaratkan bahwa ada manusia yang pongah, kalau berjalan di permukaan bumi penuh keangkuhan dan menampilkan teriakan suaranya bak teriakan keledai. Teks ayat ini bermunâsabat—berkorelasi persis dengan isyarat tuntunan Allah dalam teks ayat di dalam Q.s. Luqmâ/31: 18-19.
Tambah lagi ada isyarat pada larangan menghardik yang terdapat dalam keterangan teks ayat Q.s. al-Hujurát/49: 11, menyandangkan laqab yang tidak pantas kepada sesama mukmin. “yâ ayyuha al-ladzîna âmanû lâ yakhar qaumun min qaumin ‘asâ an yakûna khairan minhum wa lâ nisâun min nisâin ‘asâ an yakunna khairan inhunna walâ talmizû anfusahum walâ tanâbazû bi al-alqâb bi`sa al-ismu al-fusûqa ba’da al-îmân wa man lam yatub faulâika humu al-zhâlimûn– Hai orang-orang yang beriman, jangan lah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Kedua, oleh karena itu Al-Quran mengajarkan paham egaliter atau kesetaraan manusia di mata Allah. Ini misalnya digambarkan bahwa manusia itu jasadnya sama-sama dijadikan dari seorang laki-laki dan perempuan (Q.s. al-Hujurât/49: 13), dari saripati tanah yang tersaring (Q.s. al-Mu’minûn/23:12-14), dari saripati air yang hina (Q.s. al-Sajadah/32:8). Sama-sama terpancar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan (A.s. al-Thâriq/86:5-7). Maka yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa (Q.s. al-Hujurát/49:13). Bukan yang satu jasadnya dibuat dari emas dan yang lainnya dari sampah. Tetapi sama, tidak ada perbedaannya. Asal jasadnya sama, tapi yang berbeda tampilan luarnya saja. Itu pun hanya untuk penanda dalam rangka kebutuhan saling mengenal. Ajaran Islam tentang kesetaraan ini, setidaknya Rasulullah pernah bersabda bahwa “law saraqat fâthimatu laqatha’tu yadâhâ–sekiranya fathimah mencuri, pasti Aku potong kedua tangannya”. Kemudian hadis pada waktu haji wada’ di padang arafah “mâ al-farqu al-‘ajami wa al-‘arabi illá bitaqwâhá – tidak ada beda antara orang non Arab dan orang Arab kecuali dengan takwa keduanya”.
Ketiga, Ruh sama-sama datang dari satu sumber, yaitu dari Tuhan Yang Maha Esa, Allah Swt. Ini bisa kita baca teks ayat dalam Q.s. al-Sajadah/32:9, al-Hijr/15:29, Shád/38:72. Ruh yang menjadi subyek pada manusia itu, tidak yang satu berasal dari pada Allah, lalu yang lainnya dari jin. Sehingga yang satu merasa pantas dimuliakan dan karenanya merasa boleh pula merendahkan yang lainnya. Dalam kajian sufistik tentang Muhammad sebagai Nur Allah ditemukan ungkapan “anâ abû al-arwâh wa âdama abu al-basyar—Aku bapaknya para ruh dan Adam bapaknya segala tubuh”. Hadis ini tentu tidak bicara jasad melainkan bicara ruh. Di dalam kitab Sirru al-asrâr wa mazhharu al-anwâr fî yahtâju ilaihi al-abrâr li syaikhi al-islâm ‘Abd al-Qadir al-Jailanî, juga dalam kitab al-futuhât al-makiyyah li syaikh Muhyiddí Ibn ‘Arabi, dan kitab sufistik lainnya, disebutkan anâ nûrullâhi wa al-mu’minúna minnî—Aku Nur Allah dan mukmin itu dari Aku, aná minallâhi wa al-mu’minûna ninnî—Aku dari pada Allah dan mukmin dari Aku. Nur Allah ini dalam beberapa literatur kajian tauhid biasa disebut Nur Muhammad.
Mukmin dalam hadis-hadis di atas adalah nama ruh. Sebutan “aná—Aku” juga pada hadis-hadis di atas adalah Muhammad Saw yang bersabda. Keterangan ini penulis sajikan dalam lingkup bahasan bahwa ruh adalah datang atau berasal dari satu sumber kejadian. Ruh adalah subyek yang ianya adalah diri kita sendiri. Adapun tubuh kita bukan diri kita. Tubuh atau jasad adalah kendaraan kita. Tubuh atau jasad menjadi unsur lahiriah pada kita. Dengan tubuh kita diizinkan dan untuk menikmati segala apa yang dijadikan Allah di permukaan bumi ini “huwa al-ladzî khalaqa lakum nâ fî al-ardli jamî’an—Dianya Allah yang menciptakan segala apa di permukaan bumi untukmu” (Q.s. al-Baqarah/2:29). Ruh itu wujudnya adalah cahaya (Q.s. al-syúrâ/42:52). Ruh itu sama satu sumber asalnya, dia sedang di dalam tubuh siapa pun saat ini.
Pada hadis di atas disebut “Aku Nur Allah dan mukmin itu dari Aku, Aku bapaknya para ruh dan Adam bapaknya segala tubuh”, itu artinya pertama, bahwa Nur Allah itu adalah Muhammad, Muhammad itu sisi Ruhaniahnya tubuh kenabian Nabi Muhammad. Nur Allah itulah yang bersemayam di dalam tubuh kenabiannya itu. Itu sebabnya hanya Dia satu-sarunua yang bergelar shallalláhu ‘alaihi wasallama. Nah, Nur Allah atau Muhammad itu adalah Bapaknya semua ruh. Muhammad itu Cahaya/Nur Allah, dan ruh itu pun cahaya. Ruh adalah cahaya yang asalnya dari Nur Allah. Kedua, kalau begitu artinya, semua ruh asalnya atau bapaknya adalah Nur Allah yang biasa disebut Nur Muhammad. Maka penulis biasa menyebutnya bahwa wujud ruh inilah yang dimaksud dalam konsep teori ukhuwwatun iláhiyatun—persaudaraan se-Tuhan.
Semoga dapat dipahami bahwa, turunan Cahaya Allah yang bernama ruh inilah sebenarnya yang tak boleh dihardik, tak boleh saling menghina, saling merendahkan, saling menyakiti, dan seterusnya. Karena ruh ini yang bersaudara satu bapak atau satu asal (Q.s. al-Hujurat/49: 10). Ini sejalan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Kita tidak pernah menemukan dalam riwayat-riwayat sepatah kata pun yang meluncur dari lisan beliau kata-kata hujatan dan makian, baik kepada orang yang tidak seakidah bahkan orang yang menghina beliau sekalipun. Apalagi kepada yang beriman kepada Beliau. Ini juga sejalan dengan ajaran yang beliau sampaikan bahwa ajaran Islam itu rahmatan li al-‘âlamîn.
Keempat, itu sebabnya derajat di hadapan Allah itu tidak pandang warna kulit, suku-bangsa, bahkan agama. Selisih atau perbedaan agama, warna kulit, suku-bangsa itu semua ranahnya Allah—sunnatullâh. Kita tidak boleh menghinakan orang lain karena perbedaan itu. Maka, hasil riset penulis terhadap teks-teks ayat suci al-Quran (setidaknya ada 14 ayat) tentang derajat di sisi Allah adalah hanya dipengaruhi oleh iman, ilmu, dan amal shalih. Seutama-utama amal yang memperoleh derajat adalah jihad di jalan Allah. Integrasi iman, ilmu, amal shalih, dan jihad dalam kesehariq disebut taqwa. Maka yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa (Q.s. al-hujurat/49:13). Yang paling takwa artinya yang paling baik keimanannya, ilmunya, dan amal shalihnya. Di samping itu, bahwa jika salah satu ukuran kemuliaan itu adalah kedekatan dengan Rasulullah Saw, maka Beliau pernah bersabda “inna awlâ al-nâsi bî yauma al-qiyâmati aktsaruhum ‘alayya shalâtan—sesungguhnya orang yang paling dekat dengan-Ku pada hari kiamat adalah mereka yang paling banyak shalawatnya kepadaku”.
Jadi, sebenarnya tidak ada hujjah yang kuat jika di antara kita saling meninggikan diri dan merendahkan orang lian dengan instrumen selain iman, ilmu, amal shalih, dan jihad, serta shalawat kapada Rasululkah, yang semua itu disimpul menjadi takwa. Oleh karena itu harus sudah dihapus dari diri kita yang gemar meng-kelas-satukan dirinya dan meng-kelas-duakan orang lain. Harus mulai dikikis dari diri kita yang berkebiasaan me-nomor-satukan diri dan me-nomor-duakan orang lain. Kalau pun ada kalimat “yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa” itu pun ranahnya Allah. Sangat tidak terpuji pula jika kita menisbatkan diri kita sendiri sebagai sosok yang paling mulia karena merasa paling takwa.
Jika harus ada yang dimuliakan, ya harus karena iman, ilmu, amal shalih, dan jihad di jalan Alalh bukan karena yang lain. Itu pun jika diaku sendiri sebagai yang paling mulia karena empat hal tersebut tidak pantas pula rasanya. Itu masuk kategori sebaliknya. Yaitu karena tidak pantas mulia, maka harus memuliakan dirinya sendiri. Menurut penulis biarkan kemuliaan itu kita sandang berjalan dengan sendirinya dan apa adanya. Karena terasa janggal kalau kita berhajat betul untuk dimuliakan, lalu kita melakukan seleberisasi—mengartiskan diri. Dengan mengarak-arak diri di keramaian saat ada pertemuan, misalnya. Pasang retorika bahasa kepada Master of Ceremony, umpamanya. Coba kita serahkan kepada Allah. Jika Allah hendak menaikkan derajat kita, tak kan ada yang bisa menurunkannya. Sebaliknya juga begitu. Bukankah itu di antara isi doa kunut yang kita baca setiap subuh. Lâ yadzillu liman tawallaita walâ ya’izzu liman ‘ádaita.
Lalu, jika sekiranya kita telah mulia, seisi permukaan bumi ini menyanjung kita, untuk apa. Apa gunanya kemuliaan itu kita sandang jika karenanya penyakit hati kita malah tumbuh subur. Kita menjadi orang ‘âjib karena memelihara sifat ujub—takjub dengan dirinya—bangga diri. Lalu kita riyá’—haus pujian, takabbur—membesar-besarkan diri, iri-dengki—tak enjoy terhadap kelebihan orang lain, kemudian kita menghasut orang supaya senada dengan ke-iri-dengki-an kita. Kemudian dengan itu semua kita malah menyuburkan sifat tamak-loba kita, dan akhirnya kita berdiri tegak di tengah keramaian sebagai diri yang sombong. Tahukah kita bahwa, semua penyakit hati yang kemudian kita sifati dan kita wujudkan dalam perangai kita hari-hari adalah sebagai penghalang keselamatan kita bahkan penghambat kemuliaan kita di sisi Allah. Bahkan, orang yang demikian di dunia pun sudah terasa dan terlihat ketidakmuliaannya.
Sesungguhnya teks ayat dalam kitab al-Quran bisa jadi bernilai normatif saja jika hanya dipahami sebagai teori. Termasuk tentang instrumen derajat di atas. Begitu pun isi hadis. Itu sebabnya Syekh Muhammad Hasyim As’ari menitikbertakan pada adab sebagai inti nilai iman dan ilmu. Di dalam kitab âdabu al-‘âlimi wa al-muta’allimi Beliau menegaskan “al-tauhîdu yûjibu al-îmâna falâ tauhîda liman lâ îmâna lahû wa al-îmânu yûjibu al-syarî’ata falâ tauhîda lahú walâ îmâna lahû liman lâ syarî’ata lahú wa al-syarî’atu tûjibu al-adaba falâ tauhîda lahú walâ îmâna lahú walâ syarî’ata lahú liman lâ âdaba lahû—tauhid mewajibkan adanya iman, maka tidak ada gunanya tauhid bagi yang tidak beriman, iman mewajibkan adanya pengamalan syariat, maka tidak ada gunanya tauhid dan iman bagi yang tidak mengamalkan syariat, dan syariat mewajibkan adanya adab, maka tidak ada gunanya tauhid, iman, dan syariat bagi orang yang tidak memiliki adab.
Adab itu ejawantah dari akhlak yang baik. Adab itu tercermin pada perkataan dan perbuatan. Perkataan dinilai saat diucapkan, dan perbuatan dilihat dan dinilai saat ditampilkan. Saat keduanya dinilai dan dirasa indah, menyenangkan, menggembirakan, tidak menyinggung, tidak menyakiti perasaan orang lain, pandai menghargai sesamanya, tidak kasar, tidak angkuh dan sombong, pasti pelakunya disebut sebagai orang yang beradab. Begitu juga sebaliknya. Yang disebut sebagai orang yang beradab pasti mendapatkan derajat yang tinggi secara tulus dari hati orang-orang yang meninggikannya. Jadi derajat itu bersentuhan dengan hati nurani orang lain. Itu sebabnya al-Quran banyak sekali mengguidance orang-orang beriman untuk menggunakan hatinya, supaya nuraninya hidup dan bersinar.
Semoga kita dikarunia derajat yang tinggi karena Ridlanya Allah dan karena tulusnya nurani sesama.
- Penulis adalah Guru Besar Ilmu al-Quran dan Tafsir sekaligus Rektor IAIN Pontianak, dan Ketua PWNU Kalimantan Barat.