Oleh: Prof. Dr. K.H. Syarif, S.Ag., MA
Wukuf di ‘Arafah yang dilaksanakan 9 Dzulhijjah adalah rukun haji yang paling mutlak. Artinya wukuf di ‘Arafah sangat ketat dan mendebarkan oleh karena kesakralannya dan oleh karena waktunya yang terbatas. Adapun tujuan utama dari wukuf di ‘arafah bukan untuk menggurkan kewajiban rukun haji. Terapi untuk memulai perjumpaan dengan Allah.
Wukuf di ‘arafah tidak seperti rukun haji yang lain yang bisa dikerjakan bergeser dari waktu pada umumnya. Bahkan ada fatwa bahwa rukun bisa di jamak dengan wajib haji seperti thawaf ifadhah sebagai rukun haji dan thawaf wada’ sebagai wajib haji. Oleh karena itu, hatta hampir sekarat pun, hatta hanya satu detik pun menjelang batas akhir yaum ‘arafah, para haji harus hadir di sana.
Tapi sebenarnya kemutlakan dan kesakralan wukuf di ‘arafah akan lebih terasa jika kita dapat mengenal USHÛL-nya. Dengan mengetahui USHÛL ini maka akan terasa urgensinya ‘arafah dalam berhaji dan beragama. Ini nanti kaitannya adalah dengan bahwa “istithâ’ah—mampu” itu tidak sekedar mampu financial.
Mari kita mulai dengan pertanyaan, mengapa harus wukuf di padang ‘arafah dan kenapa tidak di padang yang lain? Apa pula sebabnya padang yang sebelum peristiwa perjumpaan Adam dengan Hawa hanya disebut “shakhrâ’—sahara” itu kemudian dikenal dengan nama ‘arafah’? Apa urgensinya dalam beragama ‘arafah itu dijadikan rukun utama dari haji?
Bermula dari hadis “al-hajju ‘arafah”, bahwa rukun syariat haji wukuf di arafah. Secara leterlek bahasa hadis ini tidak bermakna langsung wukuf di ‘arafah. al-hajju ‘arafah ini secara bahasa berarti “haji itu mengenal”. Dalam kajian ma’rifat “haji/hujjah” itu diartikan “perjumpaan, berhadapan” dengan Tuhan, Allah Swt. Maka rangkaian kata “al-hajju ‘arafah” itu artinya “berjumpa itu mengenal”. Maka kemudian diartikan “berjumpa— berhadapan dengan Tuhan itu harus dengan mengenal Tuhan”.
Dari kata ‘arafah ini dapat dipahami hadis qudsi “ma’rifatullâhi billâhi — mengenal Allah Dengan Allah”. ‘Araftu rabbî birabbî — mengenal Tuhanku dengan Tuhanku”. Nanti, tentunya bukan mengenal nama atau sebutan saja. Tetapi cari Wujud Yang Dengan Allah, maka akan kenal Allah. Tentu hal ini supaya tidak jatuh ke lembah kesombongan beragama. Sebelum mengenal diri yang dengan Tuhan, sebelum mengenal Diri yang Dengan Allah, maka kita harus tahu wujud diri yang datang dari pada Allah. Alquran dan hadis-hadis terkait sangat jelas membedakan antara wujud yang datang karena sebab orang tua yaitu jasad dan wujud yang datang langsung dari pada Allah yaitu Ruh (Qs. al-Thâriq/86:5-7, al-Mukminun /23:12-14, al-Sajadah/32:7-9).
Adanya dua dimensi wujud ini, maka kita dalam menghadap Allah, dalam menyembah tidak boleh hanya mengandalkan ritualistik lahiriah seperti bacaan dan gerakan anggota tubuh semata. Karena Allah tidak berhajat mengurus fisik lahiriah kita, melainkan Dia hanya mengurus wujud yang datang dari pada-Nya yaitu Ruh (Qs. al-Isrâ’/17:85). Di sini nanti letak urgensinya manasik secara hakikat.
Yasalûnaka ‘ani al-rúhi quli al-rûhu min amri rabbî wa mâ ûtîtum minal ‘ilmi illâ qalîlan
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu merupakan wujud yang menjadi urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Qs. al-Isrâ’/17:85)
Jadi secara bahasa “al-hajju ‘arafah” ini tidak langsung menunjuk padang ‘arafah. Karena kalimatnya bukan begini “al-hajju fî mîdânil ‘arafah — haji itu hadir di padang ‘arafah”. Tetapi syariat wukuf di padang ‘arafah ini ada ushulnya, ada sebabnya, mengapa harus di padang ‘arafah. Ialah, setelah Adam mendapat kalimat pertobatan dari Tuhan-Nya yaitu “rabbaná zhalamnâ anfusanâ wa inlam taghfir lanâ wa tarhamnâ lanakûnanna mina al-khâsirîn — Tuhan, kami telah zhalim akan diri kami, jika Engkau tidak mengampuni kami, pasti kami jadi orang-orang yang rugi”(Qs. al-A’raf/7:23). Kemudian Adam as diperintah thawaf mengelilingi baitul makmur tujuh kali (baca ushul dan hikmah thawaf). Setelah itu Adam as diperintah oleh Jibril untuk mengarahkan pandangannya ke arah bukit di pada luas itu. Di bukit itu Adam as memandang kekasihnya Hawa. Adam bergegas ke sana, dan bertemu di atas bukit itu. Ratusan tahun terpisah karena terlempar di permukaan bumi. Keduanya berpelukan erat bertangis-tangisan melepas rindunya. Sebab itulah bukit itu kemudian dinamai jabal rahmah, bukit kasih sayang.
Saat Berpelukan penuh kasih sayang itulah, mata hati Adam as dipandangkan ke arah satu titik (yang hari ini ada bangunan Ka’bah), dari jabal itu memandang mata hati Adam as akan SOSOK/WUJUD Nûrun ‘Alâ Nûrin. Karena memandang Wujud itulah lisan Adam as serta merta menyebut kalimat ALLAH. Itulah mula pertama lafazh Allah disebut oleh lisan manusia. WUJUD yang dipandang itulah yang disapa ALLAH oleh Adam as. Adam as manusia pertama yang MA’RIFAT akan Tuhannya, ALLAH Swt.
Adam as manusia pertama yang membunyikan kalimat ALLAH. Inilah USHUL mengapa tepat atau padang luas itu dinamai ‘ARAFAH. Yaitu di padang itulah Adam MA’RIFAT atau mengenal Tuhannya.
Jadi, wukuf di ‘Arafah tidak sekedar memenuhi syari’at rukun haji. Karena syari’at rukun haji itu belakangan baru ditasyri’kan. Oleh karena itu kita harus memahami selain hafal dan datang secara fisik di ‘arafah itu ialah bahwa kita harus mengenal Allah sebagai Tuhan. Tentu bukan mengenal teori tentang Tuhan, tentang Allah, tentang segala ilmu terkait itu secara epistemic, bukan. Tetapi mengenal Allah secara WUJUD. Seperti Adam as memandang WUJUD. Saat memandang itulah Adam as menyapa WUJUD itu dengan sebutan ALLAH.
Jika kita tidak dapat seperti Adam as memandang Wujud-Nya yang disapa ALLAH itu, setidaknya mata hati kita, pandangan hati kita mengikuti arah pandangan hati Adam as di Maqâm di mana WUJUD yang dipandang Adam as itu ada. Bahasa sederhana saat ini setidaknya pandangan hati kita DIQIBLATkan. Karena tepat di posisi Qiblat itu, di ‘Arasy WUJUD itu dipandang oleh Adam as. Bahwa lisan kita wirid dan dengan kalimat-kalimat thayyibah, bahwa kita membaca ayat-ayat surat Alquran, bahwa kita shalat, semua di ‘arafah, itu benar, tidak salah.
Tetapi jika saat beramaliah itu hati kita liar ke mana-mana, maka hampalah makna ‘arafah itu. Jika demikian, hadirnya kita sama dengan orang yang tidak mengenal Allah. Jika demikian, sama saja kita dengan orang yang tidak menerima ajaran ikutan kita Muhammad Rasulullah Saw. Karena Rasulullah Saw yang mengenalkan ini semua.
Inilah urgensinya ‘arafah menjadi rukun mutlaknya haji. Karena dari ‘arafah inilah wujud ibadah kita sempurna, yaitu utuh zhahir-bathin. Oleh karena itu manasiknya jangan cuma hafalan runtut hafalan ihram-wukuf-thawaf-sa’i.
Sejak kecil kita sudah disuruh menghafal hal yang demikian. Tetapi manasik atau penatalaksanaan secara hakikat juga harus diberikan. Mana yang disebut manasik secara hakikat itu? Ya tadi, mesti ada tata cara menuntun hati. Yaitu semua pandangan hati yang hadir di ‘arafah hendaknya difokuskan ke SATU TITIK, di mana Adam as memandang WUJUD, yang karenanya Adam as disebut MA’RIFAT kepada Tuhannya. TITIK itu adalah qiblat. Qiblat itu haluan hati. Haluan hati Adam as, disempurnakan oleh Muhammad Rasulullah Saw. Mengikut Rasulullah Saw itu utamanya adalah mengikut haluan hatinya di Qiblat (Qs. al-Baqarah/2:143).
Setidaknya, minimal sekali saat kita melakukan ritual syariat pada ibadah mahdhah. Apalagi pada saat kita sedang ada di padang ‘arafah.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu, umat pertengahan dan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Qs. al-Baqarah/2:143).
Apa hikmah berhakikat dari ‘arafah itu? Berhakikat artinya memusatkan pandangan hati, memfokuskan, menujukan pandangan hati di Qiblat. Hikmahnya ialah supaya hati orang mukmin selalu bertaut kepada Tuhannya. Tentu supaya hati senantiasa mendapat intervensi Allah. Puncaknya, dengan intervensi Allah itu hati menjadi baik. Inilah faham tentang HAJI MABRUR. Dengan haji yang sempurna zhahir-bathin ini hati diperbaiki oleh Allah.
Karena hati yang berpenyakit menjadi sumber semua persoalan dalam kehidupan. Sedangkan yang bisa memperbaiki hati itu HANYA Allah (Qs. al-Anfâl/8:24, al-A’râf/7:43). Mau atau tidak, kita harus bicara zhahir–bathin ini. Karena kita ini terdiri jasad dan ruh. Kita yang tidak mau memahami sisi hakikat dalam ibadah, artinya kita tidak mengakui eksistensi ruh, eksistensi diri kita sendiri. Itu artinya kita sama dengan menyatakan bahwa tubuh ini tanpa ruh, itu artinya mayat berjalan.
Beragama yang sempurna secara syariat dan hakikat ini berhikmah yang melahirkan sempurnanya hidup di permukaan bumi ini. Sempurnanya hidup itu ada pada hati yang tertata. Hati yang tertata itu haknya Allah Swt. Sedangkan Allah itu “laisa lahû ‘anâshirun min al-ajsâm — Allah itu tidak tersusun dari materi”. Itu sebabnya jika hati ingin ditata oleh Allah Swt jangan hanya mengandalkan amalan yang syariat saja yang berupa bacaan dan gerakan. Karena jika itu saja maka kita tidak ditilik, tidak dinilai oleh-Nya. Jika demikian tidak tertatalah hati kita. Maka mengeraslah hati. Hati kita akan penuh dengan sifat emosional, mudah marah, dan mudah tersinggung. Penuh dengan sifat ‘ujub-‘ajîb–bangga diri-angkuh, riyâ’–haus sanjungan dan pujian, takabbur–membesar-besarkan diri, hasud–iri-dengki, menghasut-memfitnah, tamak-loba, dan sombong. Ini ringkasan inti dari penyakit hati. Dengan begini, maka kita jauh dari kesempurnaan diri. Yang ada kita menjadi sumber semua persoalan di permukaan bumi. Akhirnya haji kita hampa dari HIKMAH ‘ARAFAH. Haji tinggal hanya tambahan gelar (H) melengkapi sederet gelar duniawi kita. Na’ûdzu billâhi min hâdzâ.
Izinkan saya menutup sementara uraian ini dengan tuntunan Rasulullah tentang kesempurnaan, yaitu “al-syarî’ati bilâ haqîqatin ‘âthilah wa al-haqîqatu bilâ syarî’atin bâthilah — syariat dengan tiada hakikat hampa—sia-sia, dan hakikat dengan tiada syariat batal”. Hakikat itu artinya tujuan hati. Dalam menyembah, hakikat tentunya DzatNya Allah Swt. Namun dalam if’al hati hakikat adalah Sang Wasilah Tunhgal, ialah Rasulullah Saw. Sesiapa saja yang menuju Allah, hendaklah tuju Muhammad Saw. Maka Rasulullah Muhammad Saw mewasilahinya. Ini seperti isyarat Q.s. al-Mâidah/5:35, al-Nisa/4:64, al-aisrá’:17:56.
Dalam amaliah syariat pada waktu bersamaan hati seorang hamba harus sampai pada hakikat. Dari padang ‘arafah berkumpul para hujjâj secara syariat, hatinya harus sampai atau hadir kapada hakikat. Di mana itu? Yaitu di tempat di mana Adam as hatinya dipandangkan akan WUJUD nan disapa ALLAH. Di mana posisinya, ialah di tempat yang saat ini ada bangunan hitam sebagai syatr/arah kiblat, Ka’bah.
Man syâa fa al-yakfur wa man syâa fa al-yu’min.
- Penulis adalah Guru Besar Ilmu al-Quran dan Tafsir, Rektor IAIN Pontianak, dan Ketua PWNU Kalimantan Barat.